9 Kesalahan Dalam Meracik FF
Dalam tulisan sebelumnya, telah diutarakan sepintas bahwa Flash Fiction tak ubahnya seperti cerpen singkat. Unsur-unsur yang terkandung dalam cerpen, seperti setting, karakter, konflik dan makna/resolusi harus juga termaktub dalam FF.
(Untuk mengetahui lebih jauh tentang unsur-unsur cerpen, silakan kemari)
Untuk mencakup keseluruhan unsur di atas, FF yang dibuat harus efektif dalam pemakaian kata-kata. Dengan tidak mengurangi kandungan makna, sedapat mungkin kata-kata dimampatkan (dipadatkan). Kata atau kalimat yang tidak menambah kedalaman makna, mesti secepatnya dieliminasi. Dengan cara demikian, alur cerita lebih terentang kencang.
Kesalahan#1: Underestimate Pada Pembaca
Ini adalah kesalahan terbesar yang rata-rata dilakukan para penulis pemula. Mereka beranggapan bahwa pembaca seringkali tak mengerti apa yang mereka sampaikan dalam cerita. Karenanya, mereka mendeskripsikan segala sesuatu dengan amat jelas dan sangat mendetail. Ini berakibat, karya yang semestinya bisa ditulis singkat, menjadi panjang dan bertele-tele. Akibatnya, pembaca akan merasa jenuh dan bosan. Biasanya, tiga atau empat kalimat setelah tak menemukan kenikmatan baca, pembaca tak akan meneruskan bacaannya.
Kesalahan #2: Mendeskripsikan Latar Terlalu Detail
Seringkali gaya bercerita ala cerpen/novel masih terbawa dalam membuat FF. Setting/Latar digambarkan terlampau detail.
Jika benar apa yang dikatakan dokter pada diagnosa kanker-ku lima tahun lalu, maka ramadhan tahun ini akan menjadi ramadhan terakhirku. Awalnya aku sangat syok mendengarnya, namun seiring waktu aku mulai berusaha mengikhlaskan dan berusaha menjalani sisa hidupku sebaik mungkin. Jika memang sudah waktunya, manusia tidak akan bisa menunda datangnya kematian.
Dan kematian adalah milik Allah, bukan dokter, sepandai dan seberpengalaman apapun dia.
Sebenarnya aku berharap bisa menjalankan ramadhan terakhirku ini dengan sebaik-baiknya. Aku ingin berpuasa sebulan penuh. Namun kondisiku semakin melemah. Bahkan kini pun aku harus berbaring di rumah sakit menunggu ajalku tiba. Aku tidak yakin akan punya sisa umur untuk mengulang puasaku.
Deskripsi awal cerita di atas, mestinya bisa disederhanakan. Kata-kata yang dicetak miring bisa dipangkas.
Kesalahan #3: Membuat Judul Yang Terlalu Transparan
Melimpahnya informasi dewasa ini--mau tidak mau--membuat pembaca selektif dalam memilih karya mana yang akan mereka baca. Biasanya cara yang mereka lakukan: (1). Membaca Judul (2) Membaca siapa pengarangnya (3) membaca beberapa kalimat pembuka/pengantar. (silakan membaca Kiat Jitu Menulis Cerpen, silakan baca bagian A. Paragraf Pertama)
Terkadang dari hanya melihat judul, sebagian pembaca sudah melakukan justifikasi baik buruknya sebuah karya. Mereka biasanya hanya tertarik pada judul yang menggelitik, menggugah minat baca atau mengundang rasa penasaran. Karenanya, tak bisa tidak, penulis mesti meluangkan waktu untuk mencari judul yang tepat. (Silakan klik kemari, baca bagian J. Memberi Judul).
Apa kesan anda ketika membaca judul-judul berikut?
(1)Kesabaran seorang ibu,
(5) Rasa cinta perlu pengorbanan papa
(2) Belajar berpuasa,
(6) Kata mama hadiahnya sudah habis
(3) orang beriman harus puasa pak
(7) Wahai ramadhan, gantikan keikhlasanku
(4) berbuka puasa di masjid,
(8) Ayah, ijinmu sangat berharga untukku.
Terlalu transparan, atau terlalu biasa. Itulah kesan sepintas yang muncul saat membaca judul di atas. Judul yang demikian, ‘kurang menantang’ pembaca, yang biasanya mampu menebak kemungkinan yang terjadi pada jalan ceritanya, atau akan bagaimana endingnya.
Dengan sendirinya hal ini akan menyurutkan minat baca.
Kesan berikut, sangat mungkin akan muncul saat membaca judul di atas.
(1) Kesabaran seorang ibu,
Kisah seorang ibu, yang amat sabar. Banyak peristiwa yang mestinya membuat ibu tersebut marah, kecewa ataupun benci. Mungkin anak-anaknya yang rewel, menuntut macam-macam, atau bertingkah laku yang aneh-aneh. Atau bila tidak gitu, sang suaminya yang berulah. Kawin lagi atau selingkuh, mungkin. Bisa juga berjudi. ‘Kisah yang klise,’ucap pembaca, yang urung membaca karya tersebut.
(2) Belajar berpuasa
Belajar berpuasa? Itu mah, paling-paling cerita tentang anak kecil. Terlambat bangun sahur, trusdzuhurnya sudah lapar. Ia merengek-rengek minta buka puasa pada ortunya. ‘Bisa juga sih, cerita tentang Muallaf. Tapi nggak jauh beda intinya,’kata pembaca yang urung meng-klik link di kompinya
(3) Orang beriman harus puasa pak
begitu membaca judul tersebut, pembaca langsung berseru, ‘iya deh, bu!” sambil berlalu dari bacaan itu.
(8) Ayah, ijinmu sangat berharga untukku.
Sepintas membaca judul di atas, para pembaca akan penasaran. Sebagian yang masih tertarik mungkin akan bertanya, ‘Ijin apa yah…yang dimaksudkan pengarang ini? Ijin liburan, camping seminggu? Ijin bolos? Ijin sekolah di luar negeri? Atau Ijin menikah dengan duda?’
Begitu pembaca sudah beranggapan bahwa cerita yang dimaksudkan bertutur tentang pernikahan, iapun menebak bahwa cerita itu tak jauh-jauh dari anak perempuan yang minta restu. ‘Hanya anak perempuan yang butuh wali di hari nikahnya,’sahut pembaca, yang terbiasa membaca karya-karya Agatha Christie, Sydney Sheldon, Dan Brown dan Jhon Grisam.
Kesalahan #4: Berlebihan Dalam Mengutip Puisi/Kata Mutiara
Kutipan kata-kata mutiara biasanya diletakkan di awal cerita atau akhir cerita. Jarang sekali dijumpai kutipan di pertengahan. Hal ini bisa dimengerti karena memadukan isi kepala sendiri dengan isi kepala orang lain memang agak susah. Begitu halnya dengan menyatukan cerita sendiri dan menggabungkannya dengan kata-kata mutiara.
Suguhan kata mutiara di awal cerita dimaksudkan sebagai ’kata pengantar’ sebelum cerita memasuki babak pertengahan yang berisi konflik dan regangan. Sungguhpun demikian, sebelum cerita benar-benar digulirkan, penulis harus memberikan korelasi logis antara kata-kata mutiara yang dipilihnya dengan cerita asli yang dibuatnya. Ketiadaan korelasi logis hanya akan mengukuhkan, bahwa kata-kata mutiara itu tak lebih dari ’embel-embel’ atau ’tempelan’ yang tidak menyatu dengan ceritanya. Ini juga terjadi pada puisi, yang sekedar ditempelkan sebagai label, yang bukan esensi.
Sekali hidup. Hiduplah yang berarti atau mati sahid!
Membaca slogan kata mutiara di atas, pembaca pasti beranggapan bahwa karya yang akan dibacanya berkenaan dengan pilihan-pilihan dalam hidup. Di antara pilihan-pilihan ada, pastilah penulis menyarankan untuk memilih yang paling baik; paling berarti. Jika tidak, mati sahid pilihannya!
Kekeliruan dalam memilih kata-kata mutiara di awal cerita sebagaimana contoh di atas sama halnya dengan mengulang Kesalahan #3. Membuat Judul Yang Transparan.
Mengutip kata-kata mutiara di akhir cerita sama halnya mengulangi kesalahan #8:Tergoda menyelipkan pesan & kesan. Bedanya, godaan sekarang bukan berasal dari dalam diri, melainkan dari luar.
Kesalahan #5: Terlalu banyak memakai Bahasa Kias
Bermain bahasa figurative (bahasa kias) sebagaimana jamak dipakai dalam puisi, sesekali memang akan bisa menambah kedalaman makna. Tetapi bila berlebihan, akan membuat alur menjadi kendur. Lihat contoh berikut ini :
Dulu, saat aku masih mungil...
Akulah penguasa singgasana pangkuan Bapak di pagi embun. Dengan interval sederhana ikut menghabiskan secangkir kopi hangat buatan Ibu.
Sajak bening perlahan mengalir. Saat satu persatu adik-adikku terlahir. Ragaku tumbuh memanjang dan melebar dalam porsi normal laju usia. Tersapa kesadaran bahwa aku sudah besar.
Singgasana itu hilang. Tergantikan oleh wajah-wajah lucu yang menjadi penghuni rumah paling mungil pada masa itu. Membuatku cemburu, menuntut sebentuk cinta dalam wajah baru. Dalam wujud yang aku mau. Pinta ini dan pinta itu. Gemerlap semesta yang menebar rayu pada gempita hati beliaku.
Kata-kata yang dicetak miring di atas, sebenarnya bisa dieliminasi.
Senja begitu indah, jingga merona dipelupuk awan seolah memeluk sang bulan. Belum waktunya turun wahai bulan, diamlah sejenak , berikan waktu pada mentari untuk tetap memberi sinarnya. Jingga yang indah, jingga yang membawa rasa pada diri gadis kecil yang masih bermuram durja.
Paragraf di atas mungkin lebih tepat disebut sebagai puisi atau prosa liris daripada FF. Deskripsi yang menghamburkan 42 kata tersebut sebenarnya bias disingkat dengan : ‘gadis kecil bermuram durja’. Mari kita perhatikan penggalan paragraph berikutnya yang menghabiskan 71 kata.
Sudah berapa lama gadis itu ada disana ? Waktu terasa begitu cepat , saat dukanya masih terbawa cahaya terang, saat tangisnya teronggok dibarisan dahan belimbing , saat isaknya masih mempertanyakan keadilan bagi dirinya. Dan kini, temaram senja semakin tiba, akan berapa lama lagi gadis itu bertahan, berapa lama lagi gadis itu memberi waktu kepada mereka untuk mengerti, berapa lama lagi gadis itu mampu menahan diri dari duka yang semakin menggeregas batinnya.
Terasa sekali alur berjalan begitu lambat. Amat kontras dengan definisi Flash Fiction, yang mana sedapat mungkin alur begerak secepat kilat. Paragraf kedua mestinya bisa ditulis ringkas: “Semalaman ia bertengger di dahan belimbing.” Dengan demikian, 113 kata mestinya bisa dimanfaatkan untuk mendeskripsikan hal/kejadian lain. Misalkan saja begini :
Gadis kecil bermuram durja. Semalaman ia bertengger di dahan belimbing. Di basah embun pagi, ayahnya lebih asyik menyapa loper koran, lantas tenggelam dalam berita-berita politik. Sebelum makan siang, sang ayah menyapanya. Lalu memintanya turun.
”Hati-hati, gentingnya ntar pecah!”
Muka gadis berubah masam, semasam rasa belimbing yang dicecapnya semalam.
Begitu sampai di tanah, bergegas ia memanjat pohon kelapa. Dipetiknya satu buahnya, lantas ia hujamkan ke bawah.
”Prang...”
Satu genting pecah lagi.
”Nak, apa yang kau lakukan?”
Gadis kecil masih bungkam. Sesaat kemudian terdengar lagi bunyi, ”Prang! Prang!!”
Ayahnya menghela napas. ”Baiklah, minggu depan sepeda barunya, yah?”
”Prang! Prang!! Prangg..”
Genting-genting makin banyak berjatuhan.
”Baiklah, baiklah.”Ayahnya menghela napas. ”Ayo, turun. Sekarang kita beli sepeda baru!”
Gadis kecil sumringah. Mendadak ia sembuh dari amnesia!
Kesalahan #6: Monoton Dalam Dialog; Tidak Efektif
Mari kita lihat dialog berikut :
(1) ”Nak, jangan jauh-jauh perginya, yah?!”pesan bapak pada anaknya.
(2) ”Iya, pak. Jangan khawatir.”ucap anaknya
(3) ”Jangan malam-malam pulangnya, Nak. Nanti ibumu marah. ”pesan bapaknya lagi. ”Lagian, apa kata tetangga, kalau anak gadis pulang malam.”
Dialog diatas terasa tidak efektif. Tanpa dibumbui dengan imbuhan:’pesan bapak pada anaknya’, ’ucap anaknya’ atau ’pesan bapaknya lagi’ pembaca sudah mengetahui siapa-siapa yang berkata dan apa yang dikatakannya.
Dari Dialog (1), siapa yang tidak tahu kalau yang berkata itu adalah orang tuanya? Dialog (2) menjelaskan, bahwa si anak bercakap-cakap dengan bapak; bukannya ibu. Dialog (3) si anak adalah perempuan; bukannya anak lelaki.
Kesalahan #7: Mengulang Kata-Kata
Jakarta yang disibukkan dengan segala aktifitas manusianya. Di sebuah ruangan Gedung DPR/MPR Pak Dani tampak berjalan penuh semangat menuju meja Pak Karta yang ada di seberang mejanya. Setelah menengokkan kepala ke kiri dan kanan memastikan tidak ada orang yang melihatnya, ia meletakkan amplop cukup tebal di meja Pak Karta.
Mengulang kata adalah salah satu penyebab ketidakefektifan cerita. Terlalu banyak mengulang kata, akan mengakibatkan pembaca bosan/jenuh.
Pada contoh di atas, ’meja pak Karta’ diulang dua kali. Ini tidak efektif. Padahal sebenarnya, bisa saja pada ’meja kedua pak Karta itu diganti dengan hal yang menjelaskan hubungan pak Karta dan Pak Dani. Misalkan saja begini: ’Ia meletakkan amplop cukup tebal di meja atasannya itu.’ Dengan demikian, ada satu tambahan diskripsi baru bahwa hubungan pak Kartai dan pak Dani adalah atasan-bawahan.
Pengulangan secara tidak langsung juga terjadi pada deskripsi ’Setelah menengokkan kepala ke kiri dan kanan memastikan tidak ada orang yang melihatnya’. Penggambaran menengokkan kepala ke kiri dan kanan sebenarnya serupa dengan ’memastikan tidak ada orang yang melihatnya’. Dalam Novel/Cerpen hal demikian masih bisa ditoleransi. Tetapi tidak dalam FF. Selain tak menambah kedalaman makna, cerita menjadi tidak efektif.
Kesalahan #8: Tergoda Menyisipkan Pesan & Kesan
Semangat menuliskan pesan dan kesan kala perpisahan SMP/SMA rupanya menular pada sebagian penulis. Mereka tergoda untuk menyelipkan pesan dan kesan di akhir karya. Seolah-olah mereka merasa berat berpisah dengan tulisannya.
Kadangkala, hal itu dilakukan dengan sengaja. Tujuannya, untuk memastikan agar pembaca benar-benar mengerti apa yang mereka sampaikan. Mereka amat khawatir pembaca salah menerjemahkan karya mereka. (senada dengan kesalahan #1. Underestimate pada pembaca).
Efek dari kesalahan#8 ini, seringkali makna/pesan moral cerita ditulis terang-terangan (eksplisit). Hal ini seringkali mengakibatkan pembaca merasa digurui.
Contoh 1:
Papa selalu berhasil menenangkanku dengan filosofinya.
“Di dalam memang agak pahit, tetapi di luar harus terlihat manis dan tersenyum.”
Contoh 2:
Haru menyeruak di dadaku saat membacakannya. Teringat kisah perjuangan para pahlawan kemerdekaan. Sesulit apapun, aku tak akan lupakan cita-citaku memajukan daerah terpencil. Mencerdaskan calon-calon pemimpin bangsa di sini. Mendidik mereka untuk mempertahankan iman, meski kesulitan hidup menghadang. Mengajarkan bagaimana akhlak Rasulullah saw.
Contoh 3:
Jangan kaget. Aku memang cuma jadi pengamen. Ijasah SMU-ku tak laku kujajakan ke kantor-kantor.
Tapi jangan ceritakan kebohongan ini pada Bapakku.
Supaya ia bisa tetap tersenyum setiap hari.
Contoh 4:
“PROKLAMASI !!!”
Yang kemudian disambut dengan teriakan dan sorak gembira orang orang. Aku yang tidak terlalu paham, dengan baju robek dan berdarah-darah, ikut bergembira. Karena yang kutahu, inilah saatnya Indonesia bebas dari penjajahan. dan inilah artinya sebuah KEMERDEKAAN.
Kesalahan #9: Tidak Melakukan Fungsi Editting & Revisi.
Dalam dunia penulisan berlaku prinsip : Revisi atau Mati. Karena berbagai sebab, penulis sering kali tergesa-gesa mempublikasikan/mengirimkan hasil karyanya. Biasanya tulisan demikian hanya akan berakhir di recycle bin.
Sama seperti malam sebelumnya, ibu Nanda memberikan kantong kresek yang berisi mie instan dan satu butir telur kepada Nanda. Juga selembar uang seribu rupiah. Sesudah mencium tangan ayah dan ibu, Nanda berangkat.
Nanda sholat tarawih dan sahur di rumah eyang. Uang seribu rupiah dibelikan somay setelah pulang tarawih, bersama sepupunya yang juga menginap di rumah eyang juga. Saat sahur tiba, eyang uti memasak mie dan juga telur. Telur itu kadang dicampur dengan mie, didadar atau dimasak kecap setelah diceplok. Nanda menikmati makan sahur bersama eyangnya, tapi dalam hati Nanda, ia ingin puasa dan sahur bersama ayah ibunya
Cerita di atas adalah sebuah contoh kurangnya fungsi editing dan revisi. Kata ‘Nanda’, ‘eyang’, dan ‘sahur’ terlalu sering diulang-ulang. Kata ‘juga’ malah dua kali disebut di satu kalimat. Hal-hal demikian, sebenarnya bisa dihindari dengan memanfaatkan pemakaian kata ganti orang ketiga: dia, ia atau -nya. Revisi juga patut dilakukan untuk membongkar kalimat-kalimat yang kurang efektif. Misalkan saja begini :
Sebagaimana malam sebelumnya, ibu(bunda) memberinya kantong kresek. Berisi mie instan dansebutir telur. Juga selembar uang seribu rupiah. Sesudah mencium tangan ayah-bunda, Nanda berangkat ke rumah eyang.
Sepulang sholat tarawih bersama sepupu, uang seribu rupiahnya ia belikan somay. Begitu sahur tiba, keduanya makan mie-telor, hasil racikan eyang. Nanda menikmati makan sahur bersama eyang. Tapi dalam hati Nanda, sesekali ia ingin mencicipi sahur-puasa bersama ayah-bunda.
Kata-kata yang dicetak miring adalah kata sisipan yang digunakan untuk menghindari perulangan, atau untuk menambah efektivitas dan kedalaman makna. Kata yang dicoret, adalah kata yang tidak efektif pemakaiannya.
0 komentar:
Posting Komentar