Hhfff.. !! Dengan satu lompatan saja aku sudah berada di pinggiran bibir pintu metro mini 75 jurusan Blok M yang mulai tancap gas setelah menaikkan beberapa penumpang di halte depan Pejaten Village. Sejurus kemudian nampak ku lihat wajah kenek metromini itu kurang bersahabat dengan para pengamen termasuk aku juga. Karena aku tak pernah bayar ongkos kalau naik bus. Memang itulah trik yang biasa aku pakai ketika aku lagi bokek. Apalagi kalau aku ingin sekedar jalan- jalan gratisan tanpa bayar ongkos. Malahan dengan aku mengamen dari metromini satu ke metromini yang lain bisa menjadi pemasukan tetap bagiku. Lumayan lah bisa dipakai untuk mengganjal perut tiga kali atau bahkan lebih.
Siang itu matahari sangat menyeringai. Dan angin pun membawa debu- debu di sekitar jalanan ibu kota terbang bersama. Aku yang hanya bermodal tampang yang lumayan untuk menjadi seorang artis dengan jenggot lebat dipotong tipis walaupun aku dulu tak pernah menjadi anak rohis, aku langsung tampil tanpa beban dan sedikit nekat. Sebuah gitar butut yang sedari tadi aku bawa mulai mengiringi tembang yang telah aku bawakan. Seusai membawakan beberapa tembang lagu akhirnya tak lupa ku ucapkan terima kasih dan selamat jalan kepada para penumpang sekaligus pak sopir dan keneknya.
Menyanyi sebenarnya bukan kegemaranku. Apalagi memainkan sebuah dawai gitar aku lebih tak mampu lagi. Tapi aku sempat belajar dari temanku. Sampai ia rela memberikan gitarnya kepadaku. Dulu aku waktu masih kecil pernah menang lomba menyanyi bareng teman- teman, itupun waktu aku masih duduk dibangku taman kanak- kanak. Setelah beralih ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi aku juga pernah memenangkan lomba drama bersama teman- temanku. Ketika aku masih duduk di Madradah Aliyah,aku beralih hoby yaitu menulis. Sampai- sampai aku ketika itu pernah di daulat dan mendapat amanat sebagai ketua Sie. Perpustakaan dan Publikasi. Akhirnya sampai sekarang walaupun aku juga punya sedikit prestasi, teman- teman masih memanggil aku penulis ataupun seniman.
Ternyata gelar dari teman- temanku itu masih menyisakan dalam kehidupanku. Sekarang aku memang benar- benar menjadi seniman jalanan. Seniman jalanan yang memetik senar dawai gitar butut untuk mencari uang. Setiap hari turun dari metromini satu ke metromini yang lain sambil menenteng gitar dan kantong sisa bungkus permen kopiko yang aku gunakan untuk menampung uang recehan bekas kembalian para penumpang yang mereka rasa tidak cukup berharga. Tapi bagiku yang hanya seorang perantau tanpa kawan dan sanak keluarga ini, uang recehan itu sangatlah berharga untuk menyambung hidup selama di Jakarta ini.
Sebenarnya niat awal aku datang merantau ke Jakarta ini hanya untuk menyambung kuliah. Tapi ternyata ketika itu aku gagal mengikuti ujian masuk. Aku tahu tak mudah memang mengikuti seleksi ujian masuk para calon mahasiswa di Universitas ini. Tapi akhirnya aku berpikir mungkin inilah jalan yang terbaik yang telah Allah berikan kepadaku. Inilah jalan yang harus ku tempuh. Allah pasti punya rencana di balik kegagalanku ketika itu. Rencana Allah itu pasti indah nantinya dan kadang tak di sadari oleh para makhluknya.
Aku datang ke Jakarta ketika itu dengan membawa gitar butut pemberian salah satu temanku di kampung. Bersama gitar butut inilah aku bisa hidup di Jakarta walaupun aku hanya tinggal di kost- kostan yang mungkin hanya cukup di tempati dua orang saja. Aku masih bisa bersyukur masih bisa makan walaupun dengan lauk seadanya. Gitar ini pulalah yang membiayai kuliahku di salah satu Universitas Terbuka di Jakarta. Aku memutuskan mengambil jurusan Seni dan Sastra ketika itu. Aku bersyukur sekali ketika itu walau aku tak bisa melanjutkan pendidikanku di Universitas yang telah aku incar sejak awal.
Hari berganti hari, minggu pun berganti minggu. Tak terasa satu tahun sudah aku menempuh pendidikan di Universitas Terbuka. Tapi tak kunjung juga pekerjaan tetap aku dapatkan. Tapi aku sedikit lega karena beberapa tulisanku pernah di muat oleh salah satu redaksi majalah. Royalti dari tulisanku yang aku kirimkan ini ternyata bisa aku gunakan sebagai pembayaran kuliahku. Kalau ada kesempatan aku selalu menuliskan imajinasiku, atau bahkan pengalamanku sampai menjadi sebuah cerpen dan aku kirimkam ke redaksi majalah.
*****
Pagi ini lagi- lagi tak bosan- bosannya jalanan ibu kota ramai oleh suara- suara bisingnya kendaraan yang melaju. Bunyi klakson dari pengendara yang tak sabar ingin cepat sampai ke tempat tujuan juga saling bersahut- sahutan. Tak mau ketinggalan aku pun juga ingin menyusuri jalanan ibu kota. Tapi bedanya aku tidak menyusuri jalanan ibu kota seperti mereka yang mengendarai sedan, kijang atau apalah merknya. Lagi- lagi dengan berbekal gitar butut di pundak dan kantong sisa bungkus permen di saku, aku mulai menyisiri jalanan. Dan berharap hari ini rezeki bersahabat dengan aku.
Lagi- lagi dengan sigap aku sudah berada di pinggiran pintu metromini. Sejenak aku menatap wajah- wajah para penumpang, aku bergumam sendiri “Seandainya tiap penumpang memberiku uang ribuan saja pagi ini pasti aku sudah bisa sarapan”. Ahh.. sudahlah aku yakin para penumpang metromini yang sudah aku tumpangi dari tadi sudah merindukan suara emasku. Ku setel terlebih dahulu senar gitar bututku sebelum aku membawakan sebuah lagu. Setelah gitarku siap, akhirnya aku pun mulai bernyanyi.
“Assalamu’alaikum dan selamat pagi semua para penumpang ! saya doakan semoga para penumpang masih berada dalam lindungan Allah. Baiklah berjumpa kembali dengan saya Fandi dengan tembang- tembang lagu yang akan mengantarkan anda semua ke tempat tujuan atau ke te tempat kerja. Satu buah lagu dari Ari Lasso akan mengawali perjumpaan kita pagi ini”.
“Selamat mendengarkan !” itulah kata pembuka yang sering aku ucapkan mengawali setiap lagu- lagu yang akan aku nyanyikan. Itung- itung untuk menarik perhatian para penumpang kepadaku. Sejurus kemudian aku langsung mempersembahkan lagu- lagu dan tanganku memainkan gitar bututku dengan cekatan.
Hhff.. akhirnya lagu demi lagu telah aku nyanyikan. Empat buah lagu yang telah aku nyanyikan pagi ini. Ternyata para penumpang tak bosan- bosannya mendengar suaraku. “Wahh berarti para penumpang puas dengan suaraku” gumamku dalam hati. Setelah menutup perjumpaanku dengan para penumpang, aku langsung menggilirkan bungkus permenku di hadapan para penumpang yang sedari tadi telah menikmati alunan suara emasku dan gitar bututku. Alhamdulillah para penumpang ada yang yang ngasih uang ratusan, lima ratusan, atau bahkan kalau lagi baik mereka ada yang ngasih selembar uang ribuan. Lumayanlah bisa untuk makan dua kali sehari. Abang kondektur yang sedari tadi manyun ku dekati “Nih bang, bagi- bagi rezeki!”. Aku sambil menyerahkan dua lembar uang ribuan sebagai ongkos. Abang kondektur yang sedari tadi pasang muka manyun tiba- tiba mukanya menjadi ceria setelah menerima ongkos pembayaranku.
Hari ini bertepatan dengan pengumuman hasil ujian semesterku. Aku agak sedikit mempercepat langkahku karena aku sudah tak sabar ingin melihat hasil jerih payahku di ujian semester yang telah aku laksanakan beberapa minggu yang lalu. Aku berharap ketika aku melihat papan pengumuman nanti IP 3,3 masih berada lurus tepat di namaku Fandi Effendi. Sebelum masuk pelataran kampus, aku tersadar bahwa gitar bututku masih tergantung di pundakku. Tapi tak apalah toh aku juga sering di panggil seniman jalanan daripada mahasiswa oleh mahasiswa yang lain. Akhirnya ku putuskan membawa gitar bututku ini masuk ke dalam kampus. Setengah berlari aku langsung menuju tempat dimana hasil ujianku ditempel. Sejurus kemudian aku langsung mencari nama Fandi Effendi dan tak ku hiraukan nama- nam mahasiswa yang lainnya.
“Cihuii..Yes..Yes !!” Indeks Prestasiku 3,3. Wah ternyata harapanku sebelum masuk gerbang tadi tercapai. Aku masih bisa bertahan rupanya. Wahh ! dulu waktu aku masih duduk di MI, SMP, dan MA ketika melihat nilaiku bagus aku pasti mengucap “Alhamdilillah” tapi sekarang berbeda. Aku jadi malu sendiri. Akhirnya ku ucapkan “Alhamdulillah” sambil menengadahkan tanganku sebagai tanda syukurku lalu mengusapkan tanganku ke wajah. Sekarang ujian semester sudah, Alhamdulillah hasilnya juga cukup memuaskan. Bagi seorang seniman jalanan hasil itu sudah sangat memuaskan. Yahh.. saatnya cari uang lagi ngamen di jalan sambil cari inspirasi di jalan yang nanti akan ku tuliskan dan akan aku kirimkan ke beberapa redaksi majalah remaja. Lumayanlah hasilnya cukup buat bayar uang kuliahku dan kalau ada sisa hasil dari redaksi akan ku tabung.
Walaupun aku masih diberi kesempatan kuliah, hatiku belum tenang karena aku belum bisa masuk di Universitas ternama yang telah aku incar sejak awal. Aku juga merasa bersalah kepada bapak dan ibuku karena dahulu ketika aku pamit merantau ke Jakarta aku berjanji bahwa aku pasti bisa kuliah di Universitas itu. Tapi ternyata sekarang harapan itu lain jauh dari apa yang aku janjikan kepada bapak dan ibuku. Tapi aku yakin walau takdir berkata lain, aku janji pasti akan berjuang demi menjadi anak yang bisa membahagiakan ibu dan bapakku.
Di depan pintu gerbang Universitas, aku baru mau keluar untuk menyisir jalanan lagi, aku berhenti sejenak di warung langgananku. “Bang, kopi ABC satu ya !” pesanku kepada abang penjaga warung itu. Setelah kopi ABC yang ku pesan sudah berada di depan mejaku, aku langsung menghisab Tji Sam Soe itung- itung sebagai perayaan kemenanganku telah mendapatkan hasil yang memuaskan dalam ujian semesterku. Di tengah- tengah ni’matnya aku menghisap Tji Sam Soe, aku teringat akan lembaran- lembaran putih di masa laluku. Dulu ketika aku mendapat nilai bagus, aku sering merayakan kemenanganku dengan mentraktir teman- teman ku ala kadarnya. Pastinya ku sesuaikan dengan isi kantongku. Kalau aku lagi punya rezeki lebih teman- temanku bahkan ada yang bisa makan nasi bungkus buat berdua. Biasanya aku kalau ujian akan tiba aku juga sering puasa sunnah Senin Kamis. Kadang aku juga sempat Puasa Nazar ketika itu. Tapi sekarang keadaan seperti itu sudah jauh dariku. Oleh karena itu aku sengaja membeli segelas kopi dan sebatang rokok saja untuk pengiritan.
Siang ini ternyata ku urungkan niat awalku sebelum keluar gerbang Universitas tadi. Aku memilih untuk berlama- lama menghabiskan waktu ku di warung langgananku ini. Aku sembari menyesali kehidupanku yang jauh dari kehidupanku dulu. Aku pun sempat berpikir bisakah aku berubah seperti kehidupanku di masa lalu. Aku ingin membahagiakan kedua orang tuaku. Aku juga tak ingin bapak dan ibuku mengetahui keadaan anaknya di Jakarta sekarang.
Depok, Jawa Barat