Sejak pertama aku menginjakkan kaki di sebuah tempat yang lumayan tua, yang terletak di jalan utama yang menghubungkan antara Surabaya- Bali, aku merasa tak pantas tinggal di tempat ini. Suasana yang mungkin baru kali ini aku temui. Kuberanikan ketika itu keliling lingkungan calon tempat yang akan kutinggali setelah ini, itung-itung untuk observasi. Ketika waktu makan siang tiba, rasanya aku tak percaya ketika kulihat segerombolan anak-anak lugu menuju suatu tempat yang mereka sebut “math’am”, aku juga tak percaya mereka ada yang makan di tutup panci untuk lima orang, makan sepiring berdua, setelah makan ngantri minum air kran. Dan ketika itu aku berpikir bisa gak ya aku nanti tinggal di tempat ini ? Tapi nampaknya setelah aku pikir-pikir seru juga untuk di coba suasana seperti yang baru tadi aku lihat.
Setelah hari H ku putuskan untuk berangkat ke tempat yang beberapa hari yang lalu telah ku observasi. Tak lupa aku pamit dan sungkem kepada kedua orang tuaku, adik-adikku, tetangga sebelah pun tak lupa aku pamiti. Akhirnya dengan modal bismillah dan nekat serta tas bututku aku berangkat menuju tempat tujuan. Di tengah perjalanan aku sempat berpikir mungkinkah aku kuat tinggal di tempat itu nanti ? mau mandi harus antri, mau makan harus antri, jauh dengan keluarga juga, jauh dengan teman-teman rumah juga. Ahh.. biarlah semua itu membayang- bayangiku di sepanjang perjalanan ini. Dengan modal bismillah dan mengharap ridhoNya yang telah aku ikrarkan sejak aku mulai berangkat dari rumah tadi aku yakin pasti bisa.
Setelah beberapa aku sampai di tempat itu, aku baru tahu kalau tempat itu namanya adalah Pesantren PERSIS Bangil. Tempat di mana banyak anak- anak menuntut ilmu agama juga tak sedikit orang- orang berilmu yang tinggal di Pesantren itu. Aku merasa bersyukur kepada Allah SWT karena aku masih bisa melanjutkan pendidikanku. Rasanya lagi- lagi aku tak percaya karena dulu aku sempat punya keinginan untuk berhenti sekolah dan tak lagi melanjutkan pendidikanku. Ketika itu aku ingin mencari pekerjaan saja, itung- itung membantu meringankan beban orang tuaku karena mengingat adik- adikku masih kecil dan mereka juga masih butuh pendidikan.
Hari- hari di Pesantren PERSIS Bangil ini aku jalani dengan suka cita. Mulai dari menuntut ilmu, sorogan, muhadhoroh, sholat jama’ah, mandi antri, makan antri, dan masih banyak lah aktifitas yang mungkin aku baru tahu ketika aku mulai tinggal di pesantren ini. Teriring dengan berjalananya waktu, tak terasa juga ilmu yang di ajarkan oleh asatidzku sedikit demi sedikit mulai bertambah, pengalaman pun tak sedikit juga yang ku dapat dari teman- teman senasib seperjuanganku di Pesantren PERSIS Bangil ini. Hebatnya lagi banyak pengalaman- pengalaman ataupun ilmu- ilmu yang ku dapat di Pesantren PERSIS Bangil ini belum pernah ku temukan di luar sana.
Setelah hari H ku putuskan untuk berangkat ke tempat yang beberapa hari yang lalu telah ku observasi. Tak lupa aku pamit dan sungkem kepada kedua orang tuaku, adik-adikku, tetangga sebelah pun tak lupa aku pamiti. Akhirnya dengan modal bismillah dan nekat serta tas bututku aku berangkat menuju tempat tujuan. Di tengah perjalanan aku sempat berpikir mungkinkah aku kuat tinggal di tempat itu nanti ? mau mandi harus antri, mau makan harus antri, jauh dengan keluarga juga, jauh dengan teman-teman rumah juga. Ahh.. biarlah semua itu membayang- bayangiku di sepanjang perjalanan ini. Dengan modal bismillah dan mengharap ridhoNya yang telah aku ikrarkan sejak aku mulai berangkat dari rumah tadi aku yakin pasti bisa.
Setelah beberapa aku sampai di tempat itu, aku baru tahu kalau tempat itu namanya adalah Pesantren PERSIS Bangil. Tempat di mana banyak anak- anak menuntut ilmu agama juga tak sedikit orang- orang berilmu yang tinggal di Pesantren itu. Aku merasa bersyukur kepada Allah SWT karena aku masih bisa melanjutkan pendidikanku. Rasanya lagi- lagi aku tak percaya karena dulu aku sempat punya keinginan untuk berhenti sekolah dan tak lagi melanjutkan pendidikanku. Ketika itu aku ingin mencari pekerjaan saja, itung- itung membantu meringankan beban orang tuaku karena mengingat adik- adikku masih kecil dan mereka juga masih butuh pendidikan.
Hari- hari di Pesantren PERSIS Bangil ini aku jalani dengan suka cita. Mulai dari menuntut ilmu, sorogan, muhadhoroh, sholat jama’ah, mandi antri, makan antri, dan masih banyak lah aktifitas yang mungkin aku baru tahu ketika aku mulai tinggal di pesantren ini. Teriring dengan berjalananya waktu, tak terasa juga ilmu yang di ajarkan oleh asatidzku sedikit demi sedikit mulai bertambah, pengalaman pun tak sedikit juga yang ku dapat dari teman- teman senasib seperjuanganku di Pesantren PERSIS Bangil ini. Hebatnya lagi banyak pengalaman- pengalaman ataupun ilmu- ilmu yang ku dapat di Pesantren PERSIS Bangil ini belum pernah ku temukan di luar sana.
******
Ketika penaku mulai menari- nari di atas kertas ini, aku merasa sedih bercampur haru. Karena tak lama lagi aku dan teman- teman senasib seperjuanganku akan meninggalkan Pesantren PERSIS Bangil ini. Bukan karena aku dan teman- temanku di usir dari Pesantren PERSIS Bangil ini. Melainkan memang jatah tinggal kita di pesantren sudah habis. Aku berpikir bisa gak ya aku bisa menemukan orang- orang hebat seperti kalian teman- temanku ? Rasanya tak mungkin karena aku pikir hanya di Pesantren PERSIS Bangil inilah aku temukan orang- orang seperti kalian. Kalian yang telah banyak memberikan kepadaku pelajaran tentang arti persahabatan, arti kehidupan, dan tak jarang pula kalian telah memberikan aku inspirasi hebat. Entah itu kalian sengaja ataupun tidak.
Malam itu aku semakin sedih. Bahkan ku jadikan kertas dan penaku ini sebagai tempat muhasabah ku. Aku merenung sejenak ketika itu, apakah ilmu- ilmu dari para asatidz ku kelak bisa aku pertanggung jawabkan ? apakah kelak ilmu akhlak yang telah ku dapat bisa aku “bawa” setelah aku bergaul dengan masyarakat di rumah ? bisakah aku kelak menjadi pengganti asatidz ku mengajarkan ilmu ku kepada orang lain ? aku juga merasa banyak dosa kepada teman- temanku, apalagi terhadap para asatidzku mungkin tak bisa dihitung dengan jari berapa banyak dosaku kepada para asatidzku, mungkinkah Allah masih mau mengampuni santri seperti aku ini ???
Aku juga ingat pesan dan nasehat orang tuaku. Beliau berkata kepada ku “Nak, jalan para penuntut ilmu itu bagai jalan berlumpur. Engkau harus bisa lalui semua itu agar orang tuamu bangga punya anak sepertimu. Jangan sia- siakan waktumu nak…”. Ya Allah aku sangat berdosa sekali pada orang tuaku setelah nasehat itu terlintas di pikiranku. Rasanya tak jarang juga nasehat beliau hanya masuk di telinga kanan ku dan tanpa di komando nasehat beliau pun keluar dari telinga kiriku. Yaa Allah ampunilah dosa- dosa santri yang tak tahu malu seperti aku ini Ya Allah.
Spesial untuk teman-temanku:
Sejak pertama aku bertemu dengan kalian banyak sekali kenangan yang kita lalui. Suka maupun duka pun juga telah kita rasakan. Canda tawa diantara kalian sebentar lagi tak akan terlihat lagi. Masa – masa indah bersama kalian pun terlewati. Semuanya kini tinggal kenangan yang bersemayam di hati ku. Kecerianmu adalah kecerianku, kesedihanmu adalah kesedihanku, tawamu adalah tawaku, hatimu adalah hatiku, jiwamu adalah jiwaku. Teman- temanku… perpisahan adalah rekayasa hidup. Perpisahan bukanlah akhir dari selamanya. Namun sekarang kita telah berpisah. Teman- temanku… Perjuangan kita tidak hanya sampai sini, Perjuangan kita belum selesai… SELAMAT JALAN TEMAN- TEMAN KU…
*Penulis adalah mantan Ketum Sie. Perpustakaan & Publikasi Periode 2007/2008 ketika di P3P (Persatuan Pelajar Persis Putra) Bangil.
0 komentar:
Posting Komentar