Teladan Sang Khalifah
Pemimpin dalam pandangan Islam, bukanlah lantas menjadi kelompok elit yang berhak menikmati segala kemewahan dan fasilitas duniawi.
Suatu pagi, khalifah Umar bin Abdul Aziz pergi seorang diri ke sebuah pasar. Dia ingin mengetahui langsung keadaan pasar tersebut dengan berjalan menyusuri lorong-lorong pasar, melihat-lihat situasi jual beli serta kondisi masyarakat di sana.
Dengan mengenakan pakaian sangat sederhana, maka sudah barang tentu tidak ada seorang pun mengenalinya. Bahkan ada orang yang menduga kalau dia adalah seorang kuli panggul biasa.
Orang tersebut lantas menyuruh khalifah untuk membawakan barang yang tak mampu dibawanya karena terlalu berat. Khalifah Umar pun bersedia membawakan barang milik orang itu.
Setelah selesai membawakan barang tadi sampai ke tujuan, orang tersebut ingin memberikan imbalan kepada 'kuli panggul' ini. Akan tetapi, khalifah menolak dengan santun sambil berkata, "Saya hanya bermaksud menolong mengangkat barang ini, bukan untuk mendapatkan upah." Sesaat kemudian, ia minta diri.
Namun, belum jauh melangkah, seseorang memanggilnya dengan panggilan yang mulia. Mendengar itu, si pemilik barang tadi kaget. Dia baru menyadari bahwa orang yang telah disuruhnya membawa barangnya itu bukanlah orang sembarangan.
Kisah di atas adalah contoh bagaimana seharusnya seorang pemimpin yang mengemban tanggungjawab atau amanah dari rakyat, harus menjalankan kepercayaan tersebut dengan sebenar-benarnya. Tak hanya menerima laporan para stafnya, ia juga rajin nguping langsung dari rakyat dan menonton praktik langsung kebijakannya di lapangan. Rasulullah SAW bersabda: "Setiap kamu adalah pemimpin dan setiap kamu akan dimintai pertanggungjawaban tentang kepemimpinan kamu." (HR Bukhari dan Muslim)
Pemimpin dalam pandangan Islam, tidaklah lantas menjadi kelompok elit yang selanjutnya berhak menikmati segala kemewahan dan fasilitas duniawi. Seorang pemimpin, sejatinya, justru harus bersedia berkorban serta menunjukkan kepeduliannya. Terlebih pada saat rakyat yang dipimpinnya tengah dilanda krisis berkepanjangan.
Ketika tanah Arab sedang menghadapi krisis ekonomi, Khalifah Umar berinisiatif membagikan bahan pangan untuk mengurangi penderitaan rakyat. Pada sore harinya, beliau mendapat laporan dari para stafnya bahwa sembako itu sudah dibagikan secara merata.
Meski demikian, laporan lisan itu belum membuatnya lega. Hingga pada malam harinya, Khalifah Umar merasa harus mengecek sendiri keadaan rakyatnya dengan menyusuri lorong-lorong kampung. Nyatanya beliau masih mendapati seorang ibu yang terpaksa memasak batu sekedar memberi harapan pada anaknya yang terus menangis karena lapar. Ia memegang sabda Rasulullah SAW, "Pemimpin suatu kaum adalah pelayan mereka." (HR Abu Naim).
Visi dan misi memberikan pelayanan terbaik guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat haruslah menjadi perhatian dan prioritas utama para pemimpin. Islam sangat menentang setiap upaya yang dilakukan untuk menzalimi rakyat, berbicara atas nama rakyat atau kepentingan rakyat demi kepentingan sendiri atau golongan. Sabda Rasulullah: "Khianat yang paling besar adalah bila seorang penguasa memperdagangkan rakyatnya." (HR Thabrani).
Inti ajaran Islam menyangkut kepemimpinan terletak pada konsep imamah seperti yang biasa kita jalankan pada shalat berjamaah. Seorang pemimpin dalam imamah, adalah pemegang amanat, penyuara dan penegak kalimat Allah, menguasai masalah agama, tidak cacat hukum, berakhlak luhur, bersifat keteladanan tapi juga mampu mengatur urusan duniawi umat dan seluruh masyarakat.
Dalam hal ini, setiap elemen negara senantiasa menjunjung tinggi dan mendahulukan kehendak rakyat yang mendasari jalannya kekuasaan. Karenanya, hak pemilihan, pengangkatan dan pemberhentian pemimpin pemerintahan berada di tangan rakyat yang diwakili oleh para alim ulama, pemikir, dan cendekiawan Muslim yang menjadi tokoh masyarakat.
Pemilihan pemimpin pemerintahan dalam sejarah Islam pertama kali terjadi saat pemilihan Khalifah Abu Bakar As-Sidiq sebagai pengganti Rasul pada hari Saqifah. Proses pemilihan ini dilakukan setelah melewati perdebatan sengit karena ada upaya mengganjal tampilnya Sayyidina Ali. Pertemuan berakhir dengan hasil musyawarah yang diwarnai oleh jiwa besar Sayyidina Ali dan dukungan kepada Abu Bakar.
Sedangkan pemilihan khalifah kedua, Umar bin Khattab, pemilihannya dilakukan melalui proses kaderisasi setelah penunjukan oleh Khalifah Abu Bakar. Ini dilaksanakan atas persetujuan para sahabat setelah bermusyawarah untuk menunjuk orang terbaik, patut dan layak menjadi penggantinya bila tiba-tiba dia wafat.
Dari contoh pemilihan khalifah ini dapat diketahui bahwa Islam tidak menentukan prosedur khusus bagi pelaksanaan permusyawaratan, pemilihan dan pengangkatan khalifah. Tapi pembuatan prosedur ini sepenuhnya diserahkan pada wakil-wakil rakyat yang sensitif dan responsif terhadap keadaan yang selalu berkembang dan berubah-ubah sepanjang waktu dan zaman. Jadi, prosedur apapun dapat digunakan asalkan menjamin berlakunya musyawarah, menjunjung aspirasi rakyat dan dipenuhinya kriteria kepemimpinan.
Dalam tulisan berjudul Nuansa Demokrasi Islam, Syarifuddin Hasan menyatakan bahwa Islam menentukan beberapa syarat seseorang dapat diajukan untuk dipilih menjadi pemimpin. Pertama, ia adalah orang yang paling banyak menguasai ilmu (Islam), beriman dan bertakwa. Kedua, ia memiliki kecakapan untuk memimpin umat dan rakyat. Ketiga, ia bertanggungjawab dalam melaksanakan tugas pemerintahan. Keempat, ia menjunjung prinsip musyawarah (demkoratis) dalam pengambilan keputusan dan pelaksanaan kebijakan.
Tugas pemerintahan dalam Islam adalah tugas sosial sebagai bagian dari ibadah khusus kepada Allah. Oleh karena itu, pemerintah tidak memiliki keistimewaan atau hak khusus melebihi hak rakyat lain di mata hukum dan undang-undang. Tidak berlaku hukum yang menyatakan bahwa karena jabatannya maka dia tidak dapat disentuh oleh dan kebal tehadap hukum.
Setiap penguasa harus menyadari bahwa kekuasaan yang didapatnya bukanlah pemberian keluarganya atau hasil jerih payahnya sendiri. Oleh karena itu penguasa harus menunjukkan sikap penyayang dan pengayom, serta memberikan kepuasan kepada seluruh rakyat sebagaimana ia menyayangi dirinya sendiri.
Penguasa yang menutup pintu istananya terhadap fakir miskin dan tidak menjaga rakyatnya, maka ia tidak akan mencium wanginya surga. Semua hak yang sah bagi rakyat adalah juga amanat yang harus dapat dipenuhi oleh penguasa sehingga dengan demikian terbukti bahwa ia memerintah secara bertanggungjawab.
Di samping itu, kekuasaan yang melekat pada pemerintah bukan untuk digunakan bagi kepentingan pribadi dan/atau golongan. Akan tetapi kekuasaan itu digunakan untuk memperbaiki keadaan rakyat baik keadaan ekonomi, sosial, budaya, dan sebagainya.
Pemimpin dalam pandangan Islam, bukanlah lantas menjadi kelompok elit yang berhak menikmati segala kemewahan dan fasilitas duniawi.
Suatu pagi, khalifah Umar bin Abdul Aziz pergi seorang diri ke sebuah pasar. Dia ingin mengetahui langsung keadaan pasar tersebut dengan berjalan menyusuri lorong-lorong pasar, melihat-lihat situasi jual beli serta kondisi masyarakat di sana.
Dengan mengenakan pakaian sangat sederhana, maka sudah barang tentu tidak ada seorang pun mengenalinya. Bahkan ada orang yang menduga kalau dia adalah seorang kuli panggul biasa.
Orang tersebut lantas menyuruh khalifah untuk membawakan barang yang tak mampu dibawanya karena terlalu berat. Khalifah Umar pun bersedia membawakan barang milik orang itu.
Setelah selesai membawakan barang tadi sampai ke tujuan, orang tersebut ingin memberikan imbalan kepada 'kuli panggul' ini. Akan tetapi, khalifah menolak dengan santun sambil berkata, "Saya hanya bermaksud menolong mengangkat barang ini, bukan untuk mendapatkan upah." Sesaat kemudian, ia minta diri.
Namun, belum jauh melangkah, seseorang memanggilnya dengan panggilan yang mulia. Mendengar itu, si pemilik barang tadi kaget. Dia baru menyadari bahwa orang yang telah disuruhnya membawa barangnya itu bukanlah orang sembarangan.
Kisah di atas adalah contoh bagaimana seharusnya seorang pemimpin yang mengemban tanggungjawab atau amanah dari rakyat, harus menjalankan kepercayaan tersebut dengan sebenar-benarnya. Tak hanya menerima laporan para stafnya, ia juga rajin nguping langsung dari rakyat dan menonton praktik langsung kebijakannya di lapangan. Rasulullah SAW bersabda: "Setiap kamu adalah pemimpin dan setiap kamu akan dimintai pertanggungjawaban tentang kepemimpinan kamu." (HR Bukhari dan Muslim)
Pemimpin dalam pandangan Islam, tidaklah lantas menjadi kelompok elit yang selanjutnya berhak menikmati segala kemewahan dan fasilitas duniawi. Seorang pemimpin, sejatinya, justru harus bersedia berkorban serta menunjukkan kepeduliannya. Terlebih pada saat rakyat yang dipimpinnya tengah dilanda krisis berkepanjangan.
Ketika tanah Arab sedang menghadapi krisis ekonomi, Khalifah Umar berinisiatif membagikan bahan pangan untuk mengurangi penderitaan rakyat. Pada sore harinya, beliau mendapat laporan dari para stafnya bahwa sembako itu sudah dibagikan secara merata.
Meski demikian, laporan lisan itu belum membuatnya lega. Hingga pada malam harinya, Khalifah Umar merasa harus mengecek sendiri keadaan rakyatnya dengan menyusuri lorong-lorong kampung. Nyatanya beliau masih mendapati seorang ibu yang terpaksa memasak batu sekedar memberi harapan pada anaknya yang terus menangis karena lapar. Ia memegang sabda Rasulullah SAW, "Pemimpin suatu kaum adalah pelayan mereka." (HR Abu Naim).
Visi dan misi memberikan pelayanan terbaik guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat haruslah menjadi perhatian dan prioritas utama para pemimpin. Islam sangat menentang setiap upaya yang dilakukan untuk menzalimi rakyat, berbicara atas nama rakyat atau kepentingan rakyat demi kepentingan sendiri atau golongan. Sabda Rasulullah: "Khianat yang paling besar adalah bila seorang penguasa memperdagangkan rakyatnya." (HR Thabrani).
Inti ajaran Islam menyangkut kepemimpinan terletak pada konsep imamah seperti yang biasa kita jalankan pada shalat berjamaah. Seorang pemimpin dalam imamah, adalah pemegang amanat, penyuara dan penegak kalimat Allah, menguasai masalah agama, tidak cacat hukum, berakhlak luhur, bersifat keteladanan tapi juga mampu mengatur urusan duniawi umat dan seluruh masyarakat.
Dalam hal ini, setiap elemen negara senantiasa menjunjung tinggi dan mendahulukan kehendak rakyat yang mendasari jalannya kekuasaan. Karenanya, hak pemilihan, pengangkatan dan pemberhentian pemimpin pemerintahan berada di tangan rakyat yang diwakili oleh para alim ulama, pemikir, dan cendekiawan Muslim yang menjadi tokoh masyarakat.
Pemilihan pemimpin pemerintahan dalam sejarah Islam pertama kali terjadi saat pemilihan Khalifah Abu Bakar As-Sidiq sebagai pengganti Rasul pada hari Saqifah. Proses pemilihan ini dilakukan setelah melewati perdebatan sengit karena ada upaya mengganjal tampilnya Sayyidina Ali. Pertemuan berakhir dengan hasil musyawarah yang diwarnai oleh jiwa besar Sayyidina Ali dan dukungan kepada Abu Bakar.
Sedangkan pemilihan khalifah kedua, Umar bin Khattab, pemilihannya dilakukan melalui proses kaderisasi setelah penunjukan oleh Khalifah Abu Bakar. Ini dilaksanakan atas persetujuan para sahabat setelah bermusyawarah untuk menunjuk orang terbaik, patut dan layak menjadi penggantinya bila tiba-tiba dia wafat.
Dari contoh pemilihan khalifah ini dapat diketahui bahwa Islam tidak menentukan prosedur khusus bagi pelaksanaan permusyawaratan, pemilihan dan pengangkatan khalifah. Tapi pembuatan prosedur ini sepenuhnya diserahkan pada wakil-wakil rakyat yang sensitif dan responsif terhadap keadaan yang selalu berkembang dan berubah-ubah sepanjang waktu dan zaman. Jadi, prosedur apapun dapat digunakan asalkan menjamin berlakunya musyawarah, menjunjung aspirasi rakyat dan dipenuhinya kriteria kepemimpinan.
Dalam tulisan berjudul Nuansa Demokrasi Islam, Syarifuddin Hasan menyatakan bahwa Islam menentukan beberapa syarat seseorang dapat diajukan untuk dipilih menjadi pemimpin. Pertama, ia adalah orang yang paling banyak menguasai ilmu (Islam), beriman dan bertakwa. Kedua, ia memiliki kecakapan untuk memimpin umat dan rakyat. Ketiga, ia bertanggungjawab dalam melaksanakan tugas pemerintahan. Keempat, ia menjunjung prinsip musyawarah (demkoratis) dalam pengambilan keputusan dan pelaksanaan kebijakan.
Tugas pemerintahan dalam Islam adalah tugas sosial sebagai bagian dari ibadah khusus kepada Allah. Oleh karena itu, pemerintah tidak memiliki keistimewaan atau hak khusus melebihi hak rakyat lain di mata hukum dan undang-undang. Tidak berlaku hukum yang menyatakan bahwa karena jabatannya maka dia tidak dapat disentuh oleh dan kebal tehadap hukum.
Setiap penguasa harus menyadari bahwa kekuasaan yang didapatnya bukanlah pemberian keluarganya atau hasil jerih payahnya sendiri. Oleh karena itu penguasa harus menunjukkan sikap penyayang dan pengayom, serta memberikan kepuasan kepada seluruh rakyat sebagaimana ia menyayangi dirinya sendiri.
Penguasa yang menutup pintu istananya terhadap fakir miskin dan tidak menjaga rakyatnya, maka ia tidak akan mencium wanginya surga. Semua hak yang sah bagi rakyat adalah juga amanat yang harus dapat dipenuhi oleh penguasa sehingga dengan demikian terbukti bahwa ia memerintah secara bertanggungjawab.
Di samping itu, kekuasaan yang melekat pada pemerintah bukan untuk digunakan bagi kepentingan pribadi dan/atau golongan. Akan tetapi kekuasaan itu digunakan untuk memperbaiki keadaan rakyat baik keadaan ekonomi, sosial, budaya, dan sebagainya.
0 komentar:
Posting Komentar