RSS

Indahnya Berbagi di Perantauan


Saat usiaku kini sudah mulai beranjak dewasa, masalah pun semakin datang bertubi- tubi. Jalanan terjal penuh bebatuan dan beban seolah menghantuiku. Apalagi kini aku sudah terpisah jauh di perantauan. Jauh dari orangtua, keluarga, dan juga sanak famili. Bukan hanya takdir yang memisahkanku dari mereka semua. Tapi itulah keinginanku dan restu orangtuaku. Aku ingin menuntut ilmu melanjutkan pendidikanku setelah aku tamat dari Pondok Pesantren. Dan tentu harapan orangtuaku agar aku bisa bermanfaat bagi keluarga dan juga masyarakatnya kelak.

Inginku goreskan sedikit kisah saat aku menjalani Ramadhan di perantauan setahun yang lalu. Aku yang biasa menjalani Ramadhan bersama keluarga di kampung halaman, saat itu aku tak lagi merasakan kebersamaan bersama keluarga. Kadang rasa rindu akan masakan emak saat menunaikan ibadah sahur dan berbuka tak bisa lagi terbendung, rasa rindu akan suara lantunan tadarus Al Qur’an anak- anak kampong, suara- suara kentongan dari anak- anak kampong saat mereka membangunkan warga agar segera bangun untuk makan sahur. Aku juga rindu dengan suara Bapak saat menjadi imam sholat tarawih di Masjid. Bapaklah yang biasa menyuruhku mengumandangkan adzan saat waktu buka puasa tiba.

Aku kadang sempat menitikkan air mata kala aku teringat kenangan indah bersama keluarga di Bulan Ranadhan. Walau aku berada jauh dari mereka, aku sangat bersyukur masih bisa merasakan cinta dan kasih sayang keluarga. Saat waktu sahur tak jarang aku menelepon ibu walau hanya sekedar menanyakan menu sahurnya apa di rumah. Kalau ibu menyebut menu kesukaanku, aku langsung bilang ke ibu “sisain satu ya, Bu.” Hanya lewat telepon aku bisa merasakan nikmatnya makan sahur bersama mereka. Begitu pula saat waktu buka puasa, aku juga sering mengucapkan selamat berbuka puasa kepada keluargaku. Tapi lagi- lagi hanya bisa kuucapkan lewat telepon.

Tapi rasanya aku juga harus bersyukur karena dengan jauh dengan keluarga lah aku bisa belajar mandiri. Saat santap sahur dan berbuka puasa pun aku lakukan dengan sendiri. Walau tanpa masakan emak, aku masih bisa merasakan nikmatnya masakan emak yang berbumbu cintanya dari jauh. Di perantauan, aku juga merasakan indahnya berbagi bersama anak- anak yatim piatu bersama teman- teman sekampu dan remaja Masjid. Saat itulah aku sadar bahwa masih ada saudara- saudaraku yang tak punya orang tua maupun sanak keluarga. Rasa bersalah seolah semakin bertambah. Karena telah banyak melupakan keadaan mereka. Aku dan teman- teman merasakan begitu tegarnya mereka menjalani kehidupan tanpa orangtua saat Bulan Ramadhan. Aku salut dengan semangat mereka yang masih mau berpuasa. Padahal usia mereka masih banyak yang belum layak untuk berpuasa penuh hingga waktu Maghrib. Dari merekalah aku bisa mengambil pelajaran di Bulan Ramadhan setahun yang lalu. Aku belajar kesabaran, ketabahan, ketegaran, dan juga semangat yang besar dari adik- adik mungil di perantauan.

Banten, 2 Juni 2011

*Naskah ini diikutkan dalam lomba FTS Writing Revolution "Ramadhan Kado Terindah"

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar